Kamis, 21 Mei 2009

Menjadi Karyawan Yang Diperhitungkan

Menjadi karyawan yang diperhitungkan dalam perusahaan tentu menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi para profesional, termasuk Anda. Namun untuk menjadi orang yang diperhitungkan, tidaklah semudah menyelesaikan pekerjaan Anda sehari-hari.

Kepandaian Anda dalam bekerja ternyata bukanlah satu-satunya jaminan bahwa Anda akan menjadi orang yang diperhitungkan dan berhasil dalam karir. Dibutuhkan strategi yang lebih dari sekedar pintar dan pandai menyelesaikan pekerjaan. Strategi tersebut adalah 'menonjolkan' kemampuan Anda. Coba Anda perhatikan, hanya orang-orang yang mampu menunjukkan dan menonjolkan kemampuannya lah yang bisa meraih sukses dalam karir.

Apalagi jika Anda bekerja di perusahaan besar, jika ingin ‘maju’ Anda harus pintar-pintar ‘menonjolkan’ kemampuan Anda. Karena, semakin besar perusahaan tempat Anda bekerja, umumnya semakin sulit untuk mendapatkan perhatian dari perusahaan. Keberhasilan Anda di unit kerja, seringkali tidak cukup untuk menarik perhatian perusahaan secara khusus. Nah, hanya orang-orang yang ‘menonjol’ lah yang akan mendapat perhatian khusus dari perusahaan.

Untuk menjadi orang yang menonjol dan diperhitungkan caranya jangan hanya mengerjakan tugas-tugas khusus yang diberikan pada Anda. Memang, kadang akan lebih nyaman jika mengerjakan tugas khusus yang itu-itu saja dari hari ke hari. Karena Anda akan terhindar dari beban ekstra dan resiko kegagalan yang lebih berat. Tetapi bila ingin menonjolkan kemampuan, tentu saja sikap semacam ini harus segera dirubah. Untuk itu setiap kali ada kesempatan, jangan sia-siakan. Misalnya mencoba berpartisipasi dalam proyek-proyek khusus atau tugas apa saja yang dipantau langsung oleh pihak manajemen perusahaan, baik yang terlihat maupun tidak.

Kadang perusahaan memiliki proyek atau kegiatan yang ‘belum terjamah’ karena tidak ada yang bisa menanganinya, sehingga proyek itu tertunda sampai beberapa lama. Kalau ingin menonjolkan diri, tidak ada salahnya Anda mengajukan diri untuk menangani proyek tersebut. Tentu saja, Anda harus meyakinkan perusahaan bahwa Anda mampu mengerjakan dan menyelesaikan proyek itu. Kemudian Anda harus membuktikan keyakinan Anda dengan menunjukkan hasil kerja yang menggembirakan.

Contoh lainnya, Anda dapat mengusulkan metode atau prosedur kerja yang lebih baik tanpa menunggu perintah dari atasan. Bila telah selesai, jangan ragu untuk menunjukkan atau melaporkan hasil kerja Anda pada atasan atau kepada pihak manajemen. Dengan catatan tetap sesuai dengan prosedur di perusahaan. Jangan lupa untuk memperkuat laporan Anda dengan hasil nyata.

Selanjutnya jangan berhenti untuk mencari dan menerima tanggung jawab yang lebih besar! Konsekuensinya beban kerja Anda memang jadi lebih besar, tetapi beban kerja yang lebih besar tidak selalu berarti pekerjaan semakin banyak. Jumlah tugas Anda bisa jadi tetap sama, hanya bebannya yang lebih berat dari sebelumnya. Sehingga tanggung jawab Anda terhadap pekerjaan itu pun semakin besar. Selain itu jangan berhenti untuk meningkatkan peran dalam kelompok sampai akhirnya Anda dipercaya untuk mengepalai atau memimpin suatu proyek atau pekerjaan.

Selanjutnya ketika Anda telah menjadi orang yang menonjol dan diperhitungkan, jangan merasa menjadi satu-satunya orang yang paling unggul. Jangan menganggap bahwa Andalah yang ‘menang’. Jika Anda mengembangkan sikap ‘menang-kalah’ atau ‘unggul-tidak unggul’ sukses yang Anda raih tidak akan bertahan lama.

Sebaliknya, Anda akan banyak memiliki musuh dalam selimut. Anda harus bersikap lebih bijaksana bahwa betapapun penting dan beratnya tugas dan tanggung jawab Anda, tetap melibatkan rekan-rekan Anda. Anggaplah kebeberhasilan Anda menangani proyek untuk perusahaan merupakan kemenangan bersama.

Moga-moga artikel di atas bermanfaat bagi Anda dan sukses untuk Anda! (GCM/SW)

Agar Reputasi Anda Tetap Bagus

Tolok ukur sebuah reputasi bagus adalah tindakan. Dasar dari reputasi yang bagus adalah tindakan. Banyak orang yang menghabiskan waktu berbicara seharian. Namun berbicara hanya akan membuat Anda dicap sombong. Suatu reputasi bagus diraih dengan mengatakan hal-hal yang bagus pula kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan.

Jadi tindakan yang bagaimana yang dapat membantu Anda meraih reputasi bagus? Anda harus melakukan hal-hal yang akan mempengaruhi orang-orang dengan suatu cara yang bagus. Mulai dari membantu membawa kerjaan kolega Anda atau bos Anda saat dia sulit menenteng sendiri. Anda tidak perlu melakukan hal-hal yang besar, namun cukup dengan melakukan tindakan-tindakan kecil yang baik secara kontinyu.

Inilah contoh orang yang berusaha keras membina suatu reputasi bagus. Anda memiliki suatu bisnis dan terus tersenyum pada konsumen dan menawarkan mereka dengan harga-harga terbaik selama lebih dari 20 tahun. Semuanya segar, bahkan Anda memiliki reputasi sebagai memiliki produk terbaik di kota Anda. Sampai suatu hari ketika Anda mengganti seluruh penjualan untuk mendapatkan harga yang lebih baik dan produk-produk Anda tidak begitu bagus lagi.

Secara garis besar, benar-benar menurun. Hal berikutnya yang Anda tahu adalah bisnis Anda menurun, dan Anda tidak lagi melihat orang-orang yang familiar. Apa yang terjadi? Menurut kabar yang beredar, Anda tidak seperti dulu lagi. Dengan kata lain, Anda telah terpeleset. Yang terjadi adalah bahwa reputasi Anda telah jatuh dalam hitungan bulan, bahkan mungkin dalam hitungan minggu.

Reputasi seseorang amat mudah hancur. Berapa kali Anda melihat anggota masyarakat yang dihargai, pelaku bisnis yang sudah tua, politisi atau kepala sekolah menghancurkan reputasi mereka dengan satu tindakan yang amat bodoh. Kepala sekolah tertangkap dengan masalah pornografi anak, politisi tertangkap basah sedang tidur bersama 2 pelacur dan 10 botol minuman keras, administrator rumah sakit tertangkap menggelapkan dana rumah sakit yang harusnya untuk membantu orang yang sakit. Intinya adalah, bahwa seringkali diperlukan waktu seumur hidup untuk membina reputasi, namun, hanya perlu sehari dan hanya dengan satu tindakan bodoh untuk menghancurkannya.

Jadi berhati-hatilah dengan tindakan Anda. Hal yang perlu dimengerti mengenai reputasi adalah bahwa itu terus melekat pada Anda. Ketika Anda mulai membina reputasi Anda, maka orang akan mencap Anda. Apakah Anda bereputasi baik atau buruk. Jika reputasi Anda baik, Anda biasanya dimaafkan jika melakukan hal-hal buruk, dan reputasi Anda tetap utuh. Masyarakat biasanya akan berkata, "Ia sedang keluar jalur," atau "Ia melakukan kesalahan". Mereka tidak akan terus menganggapnya seperti itu, menganggap bahwa perilaku itu bersifat temporer. Masalahnya adalah ketika Anda mendapat cap buruk dari saat-saat awal.

Tinggal pilih Anda ingin memiliki reputasi baik atau buruk? Mudah-mudahan artikel di atas bermanfaat bagi Anda. Anda sukses, saya pun bahagia. Semoga! (GCM/SW)

Fase Perjalanan Karir Profesional

Tapi tahukah Anda bahwa dalam perjalanan setiap profesional akan melewati ketiga fase? Bila Anda mampu menjalankannya dengan baik, maka keberhasilan akan Anda raih. Namun jika tidak, kegagalan lah yang akan Anda rasakan. Pakar karir, Andrew Mayo mengungkapkan ada tiga fase dalam perjalanan karir seseorang. Ketiga fase tersebut adalah:

- Discovery phase
Pada fase ini, seseorang akan beradaptasi dengan dunia kerja, berupaya untuk mengenali kemampuan dirinya, belajar tentang dunia kerja dari berbagai pihak, dan mulai memperoleh pengalaman. Fase ini biasanya berlangsung sekitar sepuluh tahun pertama dalam dunia kerja. Pada fase pencarian inilah seseorang mulai untuk menentukan arah karirnya di masa depan.

- Consolidation phase
Fase ini biasanya berlangsung pada usia 30 sampai dengan 50 tahun pada perjalanan karir seseorang. Tetapi ada pula yang memulai fase ini lebih awal, dan ada pula yang terlambat. Demikian pula dengan akhir fase ini, ada yang mengakhirinya lebih awal, dan ada pula yang terlambat. Pada fase ini seseorang mulai menyadari (tetapi juga mungkin gagal untuk menyadari) ambisi dan mengukur kemampuan dirinya. Mereka yang berhasil akan terus melaju, dan sebaliknya mereka yang gagal bersiap untuk mengalami kemandegan bahkan penurunan karir. Pada fase ini pulalah kemapanan karir seseorang dimulai.

- Maturity phase
Jika seseorang berhasil melewati fase pertama dan kedua dengan baik, maka pada fase ini dia memiliki akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang sangat substansial, dan sangat bermanfaat untuk tempat kerjanya. Sebaliknya, mereka yang gagal melewati fase pertama dan kedua akan kehilangan fleksibelitas, gagal memahami nilai-nilai yang dinamis, tidak mampu mengikuti perubahan lingkungan, dan akan tertinggal.

Nah sudahkah Anda melewati ketiga fase tersebut? Namun pada fase keberapapun Anda kini berada, jangan pernah berhenti untuk menuju fase atau proses selanjutnya. Karena pada dasarnya tidak pernah ada kata selesai untuk menggapai kesusesan. So, semoga karir Anda menjulang...! (GCM/Astaga!)

Bergaul di Lingkungan Kerja

Pergaulan di lingkungan kerja memang berbeda dengan pergaulan di luar lingkungan kerja. Pergaulan di luar kantor umumnya tidak bersifat formil. Karena anda tidak terikat dengan peraturan-peraturan dan prosedur baku. Sedangkan di kantor atau perusahaan, pergaulan lebih bersifat resmi. Apalagi di kantor ada tingkatan jabatan, mulai level terendah sampai level pimpinan.

Sehingga ada peraturan tak tertulis mengenai cara bergaul dengan masing-masing tingkatan. Tentu saja bergaul dengan bos berbeda bila dibanding bergaul dengan rekan sejawat. Begitu pula bergaul dengan bawahan. Terlebih di perusahaan yang sangat birokratis, seperti di pemerintahan, tata cara pergaulan menjadi sangat penting di banding pergaulan di lingkungan perusahaan yang lebih mementingkan kreativitas.

Tetapi nggak perlu bingung. Dimanapun anda berada, anda memang dituntut untuk pandai bergaul. Karena kepiawaian anda bergaul juga merupakan salah satu hal yang mendukung kesuksesan karir anda. Dalam hal ini di lingkungan kerja, anda tidak bisa bersikap sama rata terhadap semua orang. Cara anda menjalin hubungan dengan dengan setiap rekan di kantor sangat bergantung dari konsep diri anda di dalam lingkungan.

Tempatkan diri anda sesuai dengan posisi anda. Tentu saja terhadap bos anda harus memiliki sikap hormat dan respek. Tetapi bukan berarti anda tidak menghormati rekan selevel dengan anda. Karena pada intinya, kunci dalam pergaulan adalah saling menghormati dan menghargai. Sedangkan kepada level di bawah anda, anda juga tidak mesti minta dihormati. Jika anda bisa menghargai dan menghormati orang lain, apapun pangkat dan jabatannya, otomatis orangpun akan menaruh hormat pada anda.

Hanya saja anda bisa lebih santai jika bergaul dan bicara kepada rekan sejawat jika dibanding dengan bos. Terhadap bos atau orang-orang yang lebih tinggi tingkatannya dari anda, anda harus lebih menjaga tata krama dan kaidah yang berlaku, seperti cara bicara dan bertegur sapa. Sedangkan kepada bawahan, anda harus lebih menjaga wibawa tanpa kehilangan sikap familiar anda.

Semakin mampu anda menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja, maka semakin mudah pula anda memenuhi tuntutan pergaulan dalam level manapun. Anda akan lebih rileks dalam menjalin hubungan dengan orang-orang di lingkungan kantor anda. Tentu saja ini menguntungkan anda bukan? Selain anda tidak kesulitan bergaul, anda pun memiliki banyak teman. Sehingga anda tidak akan merasa asing di lingkungan kerja anda sendiri. Dampaknya anda akan lebih 'enjoy' bekerja dan lebih bersemangat merintis karir. (GCM/Astaga!)

Penyebab Kegagalan Orang pintar

Makanya, jangan heran, jika Anda menemui rekan sekolah Anda yang dulu dikenal pandai dan cerdas namun akhirnya hanya merutuki nasib karena masa depannya yang suram! Apa penyebabnya? Di luar nasib dan faktor 'lucky', banyak hal yang bisa memicu kegagalan orang-orang pintar. Namun berdasarkan wawancara dan survei yang dilakukan pada 200 orang pintar di Amerika, ada enam hal penting penyebab kegagalan bagi mereka. Coba simak:

* Kurang ketrampilan sosial
Seberapa pun hebatnya intelegensi akademis Anda, Anda tetap perlu memiliki intelegensi sosial, seperti kemampuan mendengarkan, peka terhadap perasaan orang lain, memberi dan menerima kritik dengan baik. Orang yang memiliki intelegensi sosial tinggi mampu mengakui kesalahan mereka dan tahu bagaimana membina dukungan tim. Intelegensi sosial bisa diperoleh dengan banyak berlatih.

* Tidak cocok
Sebuah kesuksesan memerlukan kecocokan antara kemampuan, bakat, kepentingan, keinginan, kepribadian, dan nilai-nilai dalam pekerjaan Anda. Bila Anda merasa tidak cocok, maka jangan ragu untuk meninjau perilaku pekerjaan dan menyesuaikan atau mengubah pekerjaan Anda selama ini. Bagi beberapa orang, pokok persoalannya adalah seberapa besar resiko yang berani diambil.


* Tidak ada komitmen
Sesuatu yang dilakukan setengah-setengah akan memperbesar kemungkinan gagal. Suatu tujuan perlu dibarengi tekad, semangat, dan komitmen yang kuat untuk mencapainya. Kurangnya penghargaan pada diri sendiri merupakan penyebab dasar kegagalan. Untuk bisa ambil bagian dalam sukses, Anda harus yakin bahwa Anda bisa melakukannya.

* Kurang fokus
Beberapa orang melakukan terlalu banyak kegiatan sehingga akhirnya tidak melakukan satu pun dengan baik. Fokuskan kembali diri Anda pada apa yang paling baik dilakukan. Sadarilah keterbatasan Anda, tetapkan prioritas, dan susun organisasi usaha Anda.

* Kurang menyadari rintangan
Kadang, banyak rintangan tersembunyi yang sulit diperangi. Umur, diskriminasi jenis kelamin dan ras merupakan jenis rintangan yang sering tidak disadari. So, Anda harus meninjau kembali, berdasarkan analisa yang benar mengenai situasi, untuk merebut kembali kontrol atas kehidupan dan masa depan Anda.

* Kemalangan
Siapapun tidak bisa menolak adanya takdir, entah itu takdir baik atau buruk. Dan siapa pula yang bisa menolak ketika kemalangan itu harus Anda alami? Seandainya ini terjadi, yang harus Anda lakukan, jangan menyalahkan diri sendiri! Ingat, meski tak bisa menolak kemalangan itu, namun selalu ada jalan untuk memperbaikinya.

Pada akhirnya, kegagalan bukanlah 'jalan buntu' untuk mencapai sukses. Kesempatan datang silih berganti. Jika hari ini Anda gagal, mungkin besok Anda akan sukses. Jika Anda mampu berpikir jernih mengenai kegagalan dan menyadari bahwa dalam hidup ini selalu ada pilihan, Anda akan bisa menyikapi sebuah kegagalan sebagai pelajaran yang berharga. Ingat, tak ada orang yang lebih bodoh selain tidak bisa memetik pelajaran dari sebuah kegagalan. (GCM/Astaga!-*)

Menimbang Sistem Baru Penerimaan Mahasiswa WA PTN

Ada yang berdesir di hati tatkala membaca berita tentang sistem penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri (PTN). Besarnya uang sumbangan - atau apapun istilahnya - yang ditetapkan sebagai salah satu syarat bagi para calon mahasiswa PTN yang tidak melalui jalur ujian masuk PTN (UMPTN), sebenarnya sebangun dengan sistem seleksi mahasiswa baru di perguruan tinggi swasta (PTS).

Uang sumbangan sejatinya bukan faktor tunggal penentu diterima atau tidaknya seorang lulusan SMA di PTS. Namun, sukar dipungkiri, fokus perhatian para calon mahasiswa, termasuk orang tua mereka, lebih tertuju pada masalah uang ini. Ada kepercayaan bahwa semakin besar uang yang disumbangkan, semakin besar pula peluang diterimanya calon mahasiswa yang bersangkutan.

Kesan signifikansi dana sumbangan semakin kentara, karena - seingat penulis - jumlah uang yang akan diberikan kepada PTS sudah dimasukkan sebagai salah satu butir pertanyaan pada lembar pendaftaran ujian masuk. Seleksi tertulis dan wawancara bagi calon mahasiswa, tak ayal, dipandang sebagai formalitas belaka.

Anggapan semacam itu, keliru maupun tidak, menunjukkan bahwa keberhasilan seorang calon mahasiswa PTS dalam proses seleksi ternyata sangat tergantung pada kesiapan para orang tua dalam 'memperjuangkan' anak mereka. Sepanjang mengikuti seluruh mekanisme yang ada, dan memberikan uang sumbangan yang ''memadai, gerbang PTS terbuka bagi si jebolan SMA. Dalam terminologi psikologi, dinamika ini disebut sebagai atribusi eksternal, yang bermakna bahwa unsur-unsur eksternal menjadi kausa utama bagi masuknya mahasiswa baru ke PTS.

Pada saat yang sama, secara umum, PTN tidak mensyaratkan uang sumbangan kepada para calon mahasiswa. Para peminat tidak perlu menimbang-nimbang besarnya anggaran yang akan dialokasikan guna membuka pintu PTN. Yang penting adalah, pertama, belajar sebaik mungkin selama di SMA, sehingga berpeluang terpilih masuk PTN melalui program penelusuran bakat, minat, dan prestasi akademik. Atau, alternatif kedua, mengikuti seleksi nasional melalui UMPTN.

Bagi orang tua, uang bisa jadi berperan penting untuk kemungkinan kedua di atas. Bukan untuk dana sumbangan, melainkan untuk memberikan kursus tambahan bagi si buah hati agar dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya saat mengerjakan soal-soal UMPTN. Tanpa kursus ekstra, persiapan bersaing di ajang UMPTN terasa kurang afdol.

Ditambah oleh beraneka jaminan yang diberikan oleh lembaga-lembaga bimbingan tes, pada gilirannya terbangun sebuah keyakinan bahwa keikutsertaan dalam program bimbingan UMPTN merupakan jembatan menuju PTN. Tentor-tentor di lembaga kursus, oleh tidak sedikit kalangan, dinilai lebih mumpuni ketimbang guru-guru di SMA dalam menguasai sekaligus mengajarkan keterampilan yang diperlukan siswa sewaktu mengerjakan soal-soal UMPTN.

Periode waktu menjelang UMPTN tidak hanya menegangkan bagi si calon mahasiswa, tetapi juga bagi orang tua, bahkan keluarga besarnya. Kendati demikian, ketika UMPTN berlangsung, tidak ada yang dapat diperbuat oleh orang tua, kecuali memberikan semangat dan berdoa. Kegagalan, secara manusiawi, akan mengecewakan. Sebaliknya, tercantumnya nama si anak di dalam daftar pengumuman mahasiswa baru PTN di surat-surat kabar daerah - biasanya sudah laris terbeli sejak dini hari - akan diikuti dengan sujud syukur dan kenduri.

Begitu dramatisnya kronologi penerimaan mahasiswa baru PTN, sehingga PTN menjadi luar biasa prestisius. Tidak hanya disebabkan seleksinya yang ketat, tetapi termasuk pula karena terjangkaunya biaya yang harus dikeluarkan. Belum lagi segala atribut tridharma perguruan tinggi yang tampak lebih murni di PTN ketimbang non-PTN.

Jelas, adalah si anak sendiri yang pada akhirnya harus berjibaku agar dapat lolos dari lubang jarum. Wajar apabila ia bersuka dan berbangga hati, karena kesuksesan menjadi mahasiswa PTN adalah produk atribusi internal. Hasil perasan otak, kucuran peluh, dentuman jantung, dan bisikan doa si anak 'sendiri'.

Hingga saat ini, lika-liku masuk PTN masih ada. Hanya saja, mulai sekarang, dua mekanisme penerimaan mahasiswa PTN - UMPTN dan rekrutmen atas dasar prestasi belajar di SMA - didampingi oleh sistem baru yang memberikan garis bawah pada pentingnya uang sumbangan dari para lulusan SMA yang ingin masuk PTN.

Pemberlakuan sistem mutakhir ini tentu didahului oleh banyak pemikiran. Yang susah untuk dipikir, setidaknya oleh penulis, adalah bahwa perkembangan ini telah memberikan gambaran bahwa dunia pendidikan tinggi di Tanah Air seolah berlawanan arus dengan kondisi faktual negeri ini.

Ketika kemorat-maritan belum pupus dari berbagai dimensi kehidupan, lingkungan perguruan tinggi diharapkan dapat menjadi satu-satunya lingkungan yang peka terhadap kondisi nyata tersebut. Dalam prakteknya, menyikapi anjloknya kemampuan masyarakat dalam bersekolah sebagai akibat krisis ekonomi, perguruan tinggi yang steril dari dekadensi moral seyogianya justru membuka pintu lebih lebar bagi setiap warga bangsa untuk memperoleh kesempatan menuntut ilmu.

Dalam konteks ini, penerimaan mahasiswa baru melalui sistem baru memang merupakan manifestasi terbukanya peluang lebih luas bagi siapapun untuk berkuliah. Semua pihak, tak terkecuali yang berasal dari keluarga yang sangat berkemampuan, mempunyai hak untuk mengirimkan anak mereka ke PTN.

Permasalahannya, direnungi lebih lanjut, penetapan syarat berupa dana sumbangan yang sedemikian tinggi adalah tidak paralel dengan keadaan masyarakat luas dewasa ini pada umumnya. Sistem baru ini memberikan keuntungan finansial besar bagi PTN, tapi seberapa jauh sistem ini dapat memperbesar peluang para lulusan SMA agar dapat mengenyam pendidikan di PTN? Lebih lugas lagi, pihak mana sajakah yang kesempatannya untuk masuk PTN semakin besar, akibat pemberlakuan mekanisme baru ini?

Penerimaan mahasiswa melalui UMPTN maupun penelusuran prestasi akademik di SMA, keduanya menandaskan kompetisi akademik. Sedangkan pada sistem rekrutmen yang mulai dipraktekkan oleh banyak PTN, persaingan memasuki lingkungan akademik naifnya didominasi oleh faktor non-akademik. Sehingga, alih-alih memancarkan jiwa empati terhadap keprihatinan yang dialami kelompok masyarakat yang berasal dari golongan ekonomi lemah, format baru dalam penerimaan mahasiswa baru justru lebih memfasilitasi anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori ekonomi lebih dari sekedar mampu dalam rangka memasuki PTN.

Realita ini hanya menambah deretan distorsi yang telah ada di dunia pendidikan nasional pada waktu-waktu belakangan ini. Seperti banyak diberitakan media massa, kasus ijazah palsu semakin marak. Pelakunya, tak tanggung-tanggung, para pejabat lokal dan nasional. Sudah barang tentu, para pemilik ijazah palsu ini bukan merupakan sosok-sosok berekonomi lemah, mengingat mahalnya harga ijazah palsu yang harus mereka bayar.

Setali tiga uang, munculnya gelar-gelar akademik aspal. Hanya dengan menghadiri beberapa kali tatap muka dan - kadang - menulis 'tesis' maupun 'disertasi', seorang mahasiswa dapat lulus dengan menyandang gelar akademik sesuai selera. Lagi-lagi, hanya mereka yang bersaku tebal yang sanggup membeli gelar prestise semacam itu.

Keinginan publik untuk menggenggam ijazah dan gelar akademik - tanpa harus mengikuti kegiatan perkuliahan sebagaimana mestinya - disambut oleh banyak lembaga-lembaga edukasi partikelir. Mereka, yang sejatinya hanya menyelenggarakan pendidikan setara kursus, mengelabui masyarakat dengan menawarkan gelar D3 (setingkat sarjana muda) serta menganugerahkan ijazah berikut seremoni dan toga di gedung-gedung mewah.

Program 'perkuliahan' jangka pendek serta gelar akademik adalah iming-iming yang gencar dipromosikan oleh institusi-institusi pendidikan - termasuk perguruan tinggi - imajiner tersebut. Jangankan penumbuhkembangan budi pekerti, transfer ilmu pengetahuan, keterampilan, dan teknologi pun jauh panggang dari api. Tetapi celakanya, kepraktisan seperti inilah yang, kendati mahal, nyatanya kini kian digandrungi. Siapa lagi yang dapat membeli hal-hal superfisial dan artifisial tersebut, jika bukan mereka yang bersumber daya keuangan besar.

Sekali lagi, penulis percaya, ada banyak pertimbangan di balik penyelenggaraan sistem seleksi yang berbasis pada besaran uang sumbangan ini. Sebagian besar, untuk tidak mengatakan semuanya, dapat diterima nalar. Namun, hemat penulis, perguruan tinggi bukanlah sebuah instansi yang dibangun semata di atas pondasi nalar. Ia dibangun dengan penuh idealisme sebagai sebuah kawah candradimuka bagi calon-calon intelektual. Bagi individu masa depan yang kepeduliannya telah melampaui batas-batas diri sendiri serta menjangkau kehidupan individu-individu lain. Tak lain, manusia yang berhati nurani - tak hanya bernalar - yang mampu menjelma menjadi sosok sedemikian rupa.

Implikasinya, setiap perguruan tinggi sepantasnya juga berdiri dengan nurani sebagai salah satu tiang pancangnya. Penekanan sekaligus pembinaan terhadap nurani seyogianya sudah mulai dilakukan sejak seorang lulusan SMA berencana akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Dan, proses selektif yang menempatkan daya juang individu - bukan pihak lain - sebagai kunci keberhasilan, merupakan sebuah sistem yang berfungsi sebagai pelontar bagi siapapun yang ingin bertransformasi dari siswa menjadi mahasiswa. Siswa yang mengemban tanggung jawab besar di balik kata maha yang mereka sandang!

Tidak mutlak bahwa semua mahasiswa PTN yang diterima melalui jalur UMPTN dan prestasi akademik di SMA niscaya akan berkualitas lebih tinggi daripada mahasiswa PTN yang memasuki kampus melalui sistem yang baru ini. Pun, inisiatif PTN mengadakan mekanisme penerimaan mahasiswa baru melalui penekanan pada uang sumbangan dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari adanya kebutuhan akan sumber dana penyelenggaraan pendidikan yang lebih besar.

Terlepas dari kemafhuman akan hal-hal di atas, sistem baru penerimaan mahasiswa PTN dapat ditafsirkan sebagai bentuk perlakuan istimewa yang diterapkan PTN bagi para calon mahasiswa dari keluarga berekonomi mapan. Apabila langkah tersebut dinilai sah-sah saja, maka agar adil kemudahan macam apa yang akan diberikan - apalagi diperluas - kepada mereka yang tidak mampu bersaing di dalam sistem baru ini? Wallaahu a'lam.

Sistem Pendidikan Indonesia

Saya adalah murid salah satu SMU negeri di Yogyakarta yang ingin mengatakan, bahwa sistem pendidikan di Indonesia tidak lebih dari sebuah penjara bagi siswawnya. Karena siswa harus mengikuti beberapa pelajaran yang kurang di inginkan, tetapi sistem adalah sistem yang sulit untuk diubah. Saya maklumi ini karena sudah berjalan cukup lama dan sulit sekali untuk diubah. Saya bukannya mau meniru sekolah di luar negeri, tetapi mengapa tidak dicoba dulu. Seperti saat ini di sekolah saya ada kelas akselerasi, SMU 2 tahun. Ini hanyalah sebuah percobaan, tetapi tetap berjalan.

Di sekolah saya saat ini sedang mencoba penyampaian materi pelajaran dengan menggunakan komputer, walaupun fasilitas disekolah kami kurang mencukupi, tetapi ada seorang guru yang ingin menerapkan sistem ini disekolah kami. Walaupun dulu ditentang oleh banyak guru dan bahkan oleh kepala sekolah sekalipun, tetapi tidak menyurutkan niatnya, dan sekarang sudah berjalan cukup lancar. Penyampaiannya dengan menggunakan Power Point. Para siswa mendukung sistem ini dan cukup menyenangkan dan cukup jelas. Beberapa waktu yang lalu sekolah kami dikunjungi oleh beberapa kepala seklah di Yogyakarta untuk melihat sistem dengan menggunakan komputer.

Saya tidak ingin menyalahkan siapa yang salah, tetapi ini membuat siswa merasa jenuh dan bosan. Banyak siswa yang bolos sekolah karena malas, setiap hari isinya sama saja. Dan siswa sekarang banyak yang tidak "ngajeni" gurunya, dan saya kira ini dari kesalahan sebuah sistem yang kacau.

Mengkritisi RUU Sisdiknas

Tanpa banyak terliput oleh media massa dan agak luput dari perhatian kalangan pendidikan, Komisi VI DPR RI saat ini tengah membahas RUU Sistem Pendidikan Nasional. RUU ini naskah awalnya digarap oleh Komite Reformasi Pendidikan Badan Pengembangan dan Penelitian Departemen Pendidikan Nasional (KRP Balitbang Depdiknas).

Dengan pemikiran UU Sisdiknas mempunyai arti sangat penting dalam memberi landasan yang kukuh bagi pembangunan pendidikan nasional di samping fungsinya sebagai pemberi kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan, senyampang RUU tersebut masih dalam proses pembahasan, penulis mencoba untuk mengangkat beberapa hal penting sebagai masukan bagi DPR.

Pendidikan Dasar
Sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur pendidikan sekolah. Sebelum UU No. 2/1989 dan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang pendidikan terendah sebagai Sekolah Dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan. Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2/1989 dan Wajar Dikdas diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya nama yang tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.

Anehnya, dalam naskah RUU yang dibahas pada 5 Desember 2001 Komisi VI menyebut ‘Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat’ (pasal 17 ayat 2), kemudian ‘Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang sederajat’ dan ‘Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdiri atas tiga tingkat’ (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal 20 ayat 3 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)’, dan pada ayat 4 ‘Pendidikan menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)’.

Di samping sistem tata nama yang kacau, terdapat kekacauan dan kemunduran berpikir yang sangat mendasar para wakil rakyat di Komisi VI yaitu dengan mengembalikan jenjang pendidikan sekolah setelah SD ke dalam jenjang pendidikan menengah yang disebut sebagai pendidikan menengah tingkat pertama. Apalagi dalam pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah tingkat pertama bertujuan untuk mengembangkan kepribadian, sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja atau untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut’ (kursif dari penulis). Pasal ini jelas-jelas memberikan legalitas formal dan pengakuan kepada dunia bahwa Indonesia mengizinkan dunia usaha mempekerjakan anak-anak berusia muda sebagai buruh karena usia lulusan jenjang pendidikan setelah SD tersebut adalah sekitar 15 tahun. Sungguh tidak masuk akal, keberanian politik Pemerintah di masa lalu yang untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia menetapkan jenjang pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun dimentahkan oleh para wakil rakyat di era reformasi. Kenyataan cukup banyak anak-anak berusia muda menjadi buruh atau mencari nafkah bagi keluarganya tentunya tidak harus membuat negara mencabut komitmennya dalam mencerdaskan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan.

Dalam hal penjenjangan dan penetapan tujuan pendidikan, UU No. 2/1989 justru lebih progresif karena dengan jelas menyebutkan jenjang pendidikan dasar berlangsung selama sembilan tahun dan jelas-jelas tidak memasukkan kesiapan memasuki dunia kerja sebagai salah satu tujuan pendidikannya. Naskah terakhir KRP Balitbang Depdiknas pun (27 Juni 2001) memasukkan jenjang pendidikan dasar selama sembilan tahun dengan menyebut pendidikan dasar terdiri atas sekolah dasar dan sekolah dasar lanjutan.

Pendidikan Keagamaan
Dalam naskah RUU, baik naskah dari KRP Balitbang Depdiknas maupun naskah pembahasan Komisi VI, muncul sesuatu yang baru yaitu masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren. Di samping menempel dalam pasal-pasal tentang jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut pendidikan keagamaan, dalam naskah KRP Balitbang Depdiknas ketentuan tentang madrasah dan pesantren tercantum dalam satu pasal khusus yang berisi empat ayat (pasal 17 ayat 1 s.d. 4). Dalam naskah pembahasan Komisi VI ketentuan tersebut muncul dalam salah satu pasal di bawah judul Pendidikan keagamaan yaitu pasal 26 yang secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu, Komisi VI memasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan (pasal 17, 18, 19, dan 20).

Menurut hemat penulis, dengan pemikiran bahwa UU ini berlaku untuk semua warga negara tanpa membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama tertentu. Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan semua. Pasal 25 naskah pembahasan Komisi VI sebenarnya sudah cukup mengakomodasikan hal tersebut sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama tertentu menjadi tidak perlu.

Peguruan Swassta
Satu hal yang cukup mengecewakan dalam RUU pembahasan Komisi VI adalah pengakuan terhadap perguruan swasta. Seperti halnya UU No. 2/1989 yang menempatkan eksistensi perguruan swasta dalam pasal buncit, naskah pembahasan Komisi VI pun sama saja (pasal 47 dari 59 pasal dalam UU No. 2/1989 dan pasal 49 dan 59 dari 67 pasal dalam naskah Komisi VI) dan keduanya pun tidak secara eksplisit menyebut ‘perguruan swasta’. Tentang bantuan pembiayaan bagi perguruan swasta pun keduanya menggunakan bahasa yang mengambang. UU No. 2/1989 menyebut ‘Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku’ dan naskah pembahasan Komisi VI menyebut ‘Biaya penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku’ (kursif dari penulis).

Tampaknya, pemahaman akan hak peserta didik sebagai warga negara yang bersekolah di lembaga pendidikan swasta tetap belum berubah dari tahun ke tahun. Harus dipahami bahwa jumlah sekolah dan siswa lembaga pendidikan swasta, terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah cukup besar untuk dapat diabaikan begitu saja.

Anggaran Pendidikan
Satu hal yang menarik dalam naskah pembahasan Komisi VI adalah dicantumkannya secara eksplisit pengalokasian dana Pemerintah yaitu 20% dari APBN, 20% dari APBD Provinsi, dan 20% dari APBD Kota/Kabupaten, semuanya di luar alokasi dana bagi gaji guru (naskah KRP Balitbang Depdiknas menyebut angka 6% PDB dan masing-masing 20% APBD Provinsi dan Kota/Kabupaten). Suatu kemajuan yang cukup berarti karena apabila RUU ini berhasil diundangkan tanpa revisi dalam hal pendanaan, pembangunan pendidikan akan kian membaik.

Di samping hal-hal yang penulis kemukakan di atas, masih banyak hal yang perlu pembahasan dan masukan dari berbagai pihak agar RUU ini dapat memenuhi keinginan kita semua dalam membangun sebuah sistem pendidikan nasional yang kuat. Untuk itu, Komisi VI seyogyanya rajin mencari masukan dari masyarakat dan berbagai kalangan yang memiliki perhatian kepada perkembangan dunia pendidikan melalui semacam public hearing dan sebagainya.(gg)

Civic Education

Dalam buku Belajar Civic Education dari Amerika, dijelaskan bahwa Civic Education adalah pendidikan- untuk mengembangkan dan memperkuat dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain. Yang pada akhirnya cita-cita demokrasi dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila setiap warganegara dapat berpartisipasi dalam pemerintahannya Dalam demokrasi konstitusional, civic education yang efektif adalah suatu keharusan karena kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berpikir secara kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita mendengar dan oleh karenanya mengakomodasi pihak lain, semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai (Benjamin Barber, 1992)

Tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik ditingkat lokal, maupun nasional. Hasilnya adalah dalam masyarakat demokratis kemungkinan mengadakan perubahan sosial akan selalu ada, jika warga negaranya mempunyai pengetahuan, kemampuan dan kemauan untuk mewujudkannya. Partisipasi warga negara dalam masyarakat demokratis, harus didasarkan pada pengetahuan, refleksi kritis dan pemahaman serta penerimaan akan hak-hak dan tanggung jawab. Partisipasi semacam itu memerlukan (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu, (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris, (3) pengembangan karakter atau sikap mental tertentu, dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prisip fundamental demokrasi.

Dalam civic education juga didalamnya mengembangkan tiga komponen utama: pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan watak-watak kewarganegaraan (civic dispositions).

Civic Education memberdayakan warganegara untuk dapat membuat pilihan yang bijak dan penuh dengan kesadaran dari berbagai alternatif yang ditawarkan, memberikan pengalaman-pengalaman dan pemahaman yang dapat memupuk berkembangnya komitmen yang benar terhadap nilai-nilai dan prinsip yang memberdayakan sebuah masyarakat bebas untuk tetap bertahan.

Civic Education bukan hanya meningkatkan partisipasi warga negara, tetapi juga menanamkan partisipasi yang berkompeten dan bertanggungjawab dan kompeten harus didasarkan pada perenungan (refleksi), pengetahuan dan tanggung jawab moral.

Ace Suryadi mengatakan bahwa Civic Education menekankan pada empat hal :
Pertama, Civic Education bukan sebagai Indoktrinasi politik, Civic Education sebaiknya tidak menjadi alat indoktrinasi politik dari pemerintahan yang berkuasa. Civic Education seharusnya menjadi bidang kajian kewarganegaraan serta disiplin lainnya yang berkaitan secara langung denga proses pengembangan warga negara yang demokratis sebagai pelaku-pelaku pembengunan bangsa yang bertanggung jawab.

Kedua, Civic Education mengembangkan state of mind, pembangunan karakter bangsa merupakan proses pembentukan warga negara yang cerdas serta berdaya nalar tinggi. Civic education memusatkan perhatian pada pembentukan kecerdasan (civic intelligence), tanggung jawab (civic responbility), dan partisipasi (civic participation) warga negara sebagai landasan untuk mengembangkan nilai dan perilaku demokrasi. Demokrasi dikembangkan melalui perluasan wawasan, pengembangan kemampuan analisis serta kepekaan sosial bagi warga negara agar mereka ikut memecahkan permasalahan lingkungan. Kecakapan analitis itu juga diperlukan dalam kaitan dengan sistem politik, kenegaraan, dan peraturan perundang-undangan agar pemecahan masalah yang mereka lakukan adalah realistis.

Ketiga, Civic Education adalah suatu proses pencerdasan, pendekatan mengajar yang selama ini seperti menuangkan air kedalam gelas (watering down) seharusnya diubah menjadi pendekatan yang lebih partisipatif dengan menekankan pada latihan penggunaan nalar dan logika. Civic education membelajarkan siswa memiliki kepekaan sosial dan memahami permasalahan yang terjadi dilingkungan secara cerdas. Dari proses itu siswa dapat juga diharapkan memiliki kecakapan atau kecerdasan rasional, emosional, sosial dan spiritual yang tinggi dalam pemecahan permasalahan sosial dalam masyarakat. Keempat, Civic Education sebagai lab demokrasi, sikap dan perilaku demokratis perlu berkembang bukan melalui mengajar demokrasi (teaching democracy), akan tetapi melalui penerapan cara hidup berdemokrasi (doing democracy) sebagai modus pembelajaran. Melalui penerapan demokrasi, siswa diharapkan akan seceptnya memahami bahwa demokrasi itu penting bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam hal ini civic education lebih dipentingkan karena menekankan pada:
Pertama, Civic Education tidak hanya sekadar melayani kebutuhan-kebutuhan warga dalam memahami masalah-masalah sosial politik yang terjadi , tetapi lebih dari itu. Ia pun memberikan informasi dan wawasan tentang berbagai hal menyangkut cara-cara penyelesaian masalah . dalam kontek ini, civic education juga menjanjikan civic knowledge yang tidak saja menawarka solusi alternatif, tetapi juga sangat terbuka dengan kritik (kontruktif). Kedua, Civic education dirasakan sebagai sebuah kebutuhan mendesak karena merupakan sebuah proses yang mempersiapkan partisipasi rakyat untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis.

Pendidikan yang bersifat demokratis, harus memiliki tujuan menghasilkan tujuan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan publik. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran dan membekali pengetahuan kan peran warga dalam masyarakat demokratis.

Guna membangun masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan agar warganya dapat mengkritisi dan memahami permasalahan yang ada. Dengan demikian civic education akan menghasilkan suatu pendidikan yang demokratis dengan melahirkan generasi masa depan yang cerdas, terbuka, mandiri dan demokratis.

Sehingga diharapkan civic education dapat memberikan nilai-nilai demokrasi dengan tujuan : Pertama, Dapat memberikan sebuah gambaran mengenai hak dan kewajiban warga negara sebagai bagian dari integral suatu bangsa dalam upaya mendukung terealisasinya proses transisi menuju demokrasi, dengan mengembangkan wacana demokrasi, penegakan HAM dan civil society dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, Menjadikan warga negara yang baik (good citizen) menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengedepankan semangat demokrasi keadaban, egaliter serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Ketiga, Meningkatkan daya kritis masyarakat sipil. Keempat, Menumbuhkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat sipil secara aktif dalam setipa kegiatan yang menunjang demokratisasi, penegakan HAM dan perwujudan civil society.

Sistem Pendidikan

Pada tahap sekarang ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunanan dalam dunia pendidikan walaupun tampaknya dunia pendidikan di indonesia masih sangat memprihatinkan namun di balik itu dunia pendidikan di Indonesia mengalami sedikit peningkatan bila kita bandingkan dengan dunia pendidikan yang ada di Indonesia sebelumnya.

Namun semua itu masih banyak hal yang perlu di perbaiki dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia antara lain sistem pendidikan yang ada sekarang ini.

Sistem pendidikan yang ada di Indonesia kayaknya perlu ada perumbakan dalam arti tidak merumbak untuk menghancurkan sistem pendidikan yang lama dengan mengganti metode yang baru, namun kita harus bisa sama-sama menutupi lobang-lobang yang ada dalam dunia pendidikan sekarang ini.

Sebagai mana metode pengajaran yang ada di bangku kuliah sekarang ini masih menganggap seorang mahasiswa itu sebagai anak-anak yang bodoh dan perlu di dikte oleh dosen padahal pada kenyataannya seorang mahasiswa itu belum tentu lebih bodoh dari dosennya akan tetapi mungkin dosennya lebih bodoh dari mahasiswanya, namun Dosen lebih dahulu memandang dunia ini, seperti yang kita lihat sekarang ini keadaan real yang ada dosen selalu memegang kekuasaan kebenaran padahal dosen tersebut belum tentu benar.

Maka sistem seperti itu harus kita ubah agar mahasiswa kuliah itu tidak hanya mengejar nilai yang bagus di mata dosen tapi mahasiswa itu membuka wacananya berpikir dan bisa mengatakan kebenaran menurut pola /sudut pikirannya, kalau memang itu pada kenyataannya benar.

Karna semua itu adalah salah satu tahap awal bagi seorang mahasiswa untuk membuka wacananya berpikir krisis dan berinteraksi langsung dengan dunia pendidikan yang ada..